“Tragedi tersebut terjadi di tahun 1918.
Mereka semua meninggal setelah demam tinggi berhari-hari. Ibu Masora, yang
meninggal di tahun 1995, berulangkali menceritakan wabah pembunuh massal
tersebut kepada anak-anaknya. Cerita wabah tersebut juga tercatat dalam tradisi
lisan yang disampaikan secara turun temurun.
Kesaksian
Masora membuktikan bahwaIndonesia juga mengalami pandemi influenza
mematikan, sama seperti yang dialami Amerika Serikat dan Eropa.
Saat
ini, para ahli kesehatan dan sejarawan sedang menganalisa cara-cara pemerintah
di dunia merespon pandemi 1918 agar dapat mempelajari pola penyebaran virus dan
langkah-langkah yang harus diambil untuk menghindari bencana kemanusiaan yang
besar.
Orang
Toraja lebih mengenal wabah flu mematikan tersebut dengan nama Raa’ba Biang,
yang kira-kira atinya ialah “pohon yang berjatuhan”. Pada saat wabah tersebut
merebak, ratusan orang Toraja meninggal dunia dalam seketika.
Catatan
medis dari Pemerintah Kolonial Belanda, yang saat itu menjajah Tana Toraja dan
sebagian besar kepulauan Nusantara, menyatakan bahwa kematian masif tersebut
disebebkan oleh wabah raya influenza mematikan.
Para
sejarawan Universitas Indonesia, yang menemukan catatan medis tersebut,
menerangkan bahwa tragedi tersebut adalah bagian dari sebuah pandemi global
yang dikenal dengan Pandemi Flu Spanyol. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO),
pandemi 1918 menewaskan lebih dari 20 juta orang di seluruh dunia.
Pemerintah
kolonial memperkirakan sekitar 10 persen dari 3.000 populasi Toraja meninggal.
Sementara, menurut pengakuan ibunda Masora,hampir setengah populasi Toraja saat
itu meninggal dunia.
Tato
Dena, tokoh adat Toraja lainnya, mengatakan bahwa kematian masif dan serentak
tersebut disebabkan oleh sebuah penyakit yang menular antarmanusia.
“Kata
Ayah saya: ‘Udara bagai diracuni’. Tidak ada satu keluargapun yang tidak
kehilanggan anggotanya,” cerita pria berumur 71 tahun ini. Kakeknya menjadi
korban pandemi 1918.
“Bahkan
orang yang pergi menguburkan, meninggal setelah bersentuhan dengan jasad yang
dikubur. Ayah saya bilang saat itu penduduk tidak punya waktu untuk mengubur
orang jadi hanya diletakkan di pemakaman-pemakaman di seluruh Toraja,”
tambahnya.
Dalam catatan Sejarawan Australia, Colin Brown,
dinyatakan bahwa Tana Toraja mencatat kematian masif karena pandemi influenza.
0 komentar:
Post a Comment